Aduhai, alangkah elok dan terpujinya perilakumu Alifah. Kau masihlah bocah, tapi di usiamu yang belia kau mampu mengajari bangsamu nilai yang teramat mulia, kejujuran.
Ketahuilah Alif, kejujurun adalah mata pelajaran hidup terpenting. Dan kau memahaminya begitu dalam.
Mendiang Mohammad Hatta, Baharuddin Lopa dan para tokoh mulia bangsa ini yang setia mengajari moral pada bangsanya, pasti bangga melihat bangsanya mampu melahirkan anak-anak bermoral luhur sepertimu Alif.
Mereka juga pasti bangga memiliki anak-anak bangsa yang walau hidup tak berkecukupan namun tetap mengajari anak-anaknya dengan kejujuran, seperti ibumu, Siami.
Semua agama, semua keyakinan, semua nabi, semua orang suci, semua orang bijak, semua penganjur kebaikan dan pencerah kehidupan segala zaman, menyeru keras-keras manusia untuk meninggikan kejujuran.
Kejujuran membedakan masyarakat satu dari lainnya, bahkan menjadi pondasi bangsa-bangsa besar yang kemudian mampu menaruh dunia dalam genggamannya. Jepang, salah satunya. Jepang tahu pasti kejujuran adalah inti sukses sebuah bangsa.
T.R Reid dengan cantik melukiskan bagaimana orang Jepang menanamkan moral dan etika kepada generasinya, dalam "Confucius Lives Next Door". Orang Jepang akan gelisah dicap negatif oleh orang-orang di sekitarnya. Mereka akan malu berbuat salah.
Dan mereka begitu menghargai hak orang lain. Apapun milik orang lain tercecer jauh dari pemiliknya, pantang bagi orang Jepang untuk mengambilnya. Mereka tahu hak dan batas karena sejak dini telah dikenalkan kepada itu.
Manakala anak Jepang menemukan barang yang bukan miliknya, meski itu sekeping koin, orang tua akan menemani si anak melapor ke polisi. Sang polisi tak menganggap hal ini sepele. Sebaliknya, perilaku si anak dilihat sebagai bagian dari pendidikan moral dan awal bagaimana hukum dibumikan dan diteladankan.
Polisi akan dengan senang hati menyodorkan kertas laporan kehilangan barang. Kemudian, menyelamati si anak, "Terimakasih kamu telah jujur."
Kejujuran itu membuat orang Jepang amat menjaga martabatnya. Sekali mereka mengambil yang bukan haknya, sekali itu mereka merasa hidupnya buruk begitu rupa.
Mereka berpepatah, "Reputasi ribuan tahun ditentukan oleh tindak tanduk sesaat." Itu sama dengan "Nila setitik rusak susu sebelanga" dalam bahasa kita.
Tak heran, di pentas kehidupan lebih tinggi, politik misalnya, orang Jepang enggan bersikukuh bertahan dalam jabatan saat noda dilihat masyarakatnya telah mengotori jabatannya.
Seiji Maehara contohnya.
Seiji mengundurkan diri dari jabatan menteri luar negeri karena menerima 50 ribu yen dari orang asing. Nilai itu sama dengan Rp600 ribu! Bandingkan dengan PDB Jepang 2010 yang 5,391 triliun dolar AS (Rp47 ribu triliun) atau PDB Indonesia tahun 2010 yang Rp5,613 triliun. Itu bagai debu di padang pasir!
Tapi, bukan soal recehan atau tidak yang dipersoalkan orang Jepang. Ini soal moral dan etika, bahwa pemimpin seharusnya tidak menerima dan mengambil yang bukan haknya.
Menganggap entengkah Seiji? Apakah dia mengobral kalimat, 'Nanti dulu, kita harus menjunjung asas praduga tak bersalah" atau "Hey, fakta hukum itu tak boleh katanya, katanya, dan katanya" atau "Ini konspirasi untuk menjatuhkan saya", dan bla bla bla
Tidak saudara! Seiji justru bersedu meminta ampun, "Saya mohon maaf kepada rakyat telah menohok kepercayaan publik karena soal pembiayaan politik saya itu."
Itulah kenapa Jepang disebut sebagai sekolah moral dan etika yang hebat, bahkan orang Eropa pun bersetuju dengan klaim itu.
Sejak dini, anak-anak Jepang diajari kejujuran seperti Siami mengajari Alifah untuk selalu jujur. Sayang, petuah Siami kepada Alifah tak beresonansi ke masyarakatnya, bahkan sekolah di mana seharusnya moral ditinggikan pun mencibirnya.
Sebaliknya, orang Jepang mengajarkan kejujuran di mana saja. Di rumah, di sekolah, di jalan. Dengan kejujuran bangsa itu begitu cepat bangkit dari bencana paling mengerikan sekali pun.
Kita tak perlu studi banding ke Jepang, apalagi kita masih memiliki orang-orang seperti Alif dan Siami. Mereka adalah "guru-guru etika" yang sebenar-benarnya.
Alif dan Siami mencambuk kita untuk memberi tempat selapang mungkin bagi kejujuran, bagi orang-orang jujur seperti ibu dan anak itu.
Media massa, sekolah, masyarakat, dan para pemimpin mesti membuka lebar-lebar pintu publikasi untuk akhlak mulia seperti dipraktikan Alifah Ahmad Maulana dan ibunya. Jangan biarkan bangsa ini terlalu sering diceramahi oleh mereka yang pongah, bermental pencoleng dan penipu.
Kejujuran harus menjadi jiwa di sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan segala sudut di negeri ini.
Selama ini kita begitu masyuk mencintai kepalsuan dan bayangan, cangkang dan aksesoris, ketimbang isi dan nilai. Kepalsuan yang memabukkan itu bahkan membuat kita tak mau bertanggunggjawab kepada masa depan dengan enggan menciptakan pondasi nilai baik bagi generasi mendatang.
Kita telah begitu rupa dibutakan oleh materi dan ilusi bahwa kemajuan hidup itu melulu soal angka, sementara etika, moral dan nilai-nilai luhur seperti kejujuran disingkirkan, justru ketika bangsa-bangsa besar meninggikannya. Ilusi itu membuat kita tak malu lagi untuk curang, bahkan memujanya.
TR Reid menulis, sistem pendidikan Jepang amat menekankan pembangunan moral karena percaya moral adalah pondasi terkuat untuk membangun bangsa yang kuat. Mereka mencintai prestasi, tapi tak menuhankan statistik yang acap menghinakan nilai hidup dan kemanusiaan.
Pendiri Panasonic, Konosuke Matsushita, berkata, "Sehebat apapun bakat dan pengetahuan kita, tanpa kejujuran, kita tak akan bisa mendapat kepercayaan dari yang lain dan menghargai diri sendiri."
Kita perlu pondasi moral seperti dimuliakan Matsushita dan orang-orang Jepang itu. Pondasi yang dengan tegar dan indah ditegakkan oleh Siami dan Alif, kendati untuk itu butuh reformasi total pada sistem nilai kita. (***)