Jakarta, Agung Post
Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) yang tengah disusun oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI akan menunggu terlebih dahulu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu terkait gugatan yang dilayangkan Partai Gerindra yang menuntut penghilangan Pasal 6A tentang ambang batas pengusungan presiden (presidential threshold), 20% suara dan 25 kursi parlemen.
Anggota Baleg Taufik Hidayat mengungkapkan hanya presidential threshold yang menjadi perdebatan, khususnya mengenai besaran angka 20% suara dan 25% jumlah kursi di parlemen yang berhak mengusung calon presiden atau menggunakan ambang batas parlemen seperti dalam UU Pemilu sebesar 3,5%. Untuk pasal-pasal lain, menurut Taufik, hanya akan dilakukan penyesuaian.
"PT (presidential threshold) saja, kalau yang lain hanya penyesuaian teknis. Dari awal keengganan untuk mengubah karena orang melihat ini hanya soal PT. Nah, sekarang sedang ditempuh judicial review, maka hasil keputusan MK itu yang akan kita tunggu," ujar Taufik, di Jakarta, belum lama ini.
Lebih jauh dikatakan, jika putusan MK nanti mengabulkan untuk menghapus besaran PT, Taufik meminta agar semua bisa secara menyeluruh termasuk redaksionalnya, karena akan menyangkut tafsir. Selain itu perlu dilakukan kajian agar pembahasan tidak memakan waktu dan biaya yang besar.
"Putusan MK harus dilihat secara lengkap. Sekarang sudah di Baleg, tarafnya masih mengkaji. Tapi inti persoalannya lebih baik menunggu hasil putusan MK," pungkasnya.
Sementara itu, anggota Baleg lainnya, Abdul Malik Haramain, melihat bahwa UU No 42 tahun 2008 sudah ideal, termasuk tentang syarat PT 20% suara dan 25% kursi di parlemen. Menurutnya, besaran PT itu sudah cukup ideal agar capres nantinya bisa membuktikan dukungan.
"Ini tidak perlu diubah, dengan semangat seorang capres sebelum bertarung harus membuktikan dukungan, agar nanti ada pemerintahan yang efektif," kata Haramain.
Terkait dengan gugatan yang dilayangkan ke MK soal penghapusan PT, dirinya menjamin bahwa MK bisa memiliki pandangan yang objektif dan tidak akan mengubah besaran PT.
"MK pasti melihat ini bukan sekedar semua punya hak mengusung capres, tapi saya rasa MK pasti melihat ini demi penguatan pemerintah ke depan. Bahkan saya mengusulkan untuk dinaikan saja atau tetap," pungkasnya.
Menurutnya, jika sekelas pilpres tidak memiliki ambang batas pencalonan hal itu akan menjadi bola liar dan semua parpol bisa saja memaksakan calon dari internalnya, meskipun tidak semua partai memiliki sosok untuk maju menjadi calon presiden.
"Pimilu kada saja ada kepala daerah threshold, masa presiden tidak ada," tutupnya. (ol/mi/ap)