Cita-cita yang sangat mendasar diperjuangkannya kehadiran era Reformasi, melalui kekuatan
gerakan ribuan Mahasiswa dan sejumlah Elemen Masyarakat dengan menumbangkan kekuasaan rezim Soeharto pada
1998, selain menuntut kebebasan Demokrasi dalam arti hakiki, juga adanya tekad
memberantas praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketika itu memang
dinilai sudah sangat ‘Menggurita’ di Negeri tercinta, Indonesia. Setelah 15
tahun era Repormasi berjalan, memang secara jujur harus diakui, ada beberapa
perubahan dalam ber-Bangsa dan
ber-Negara bagi kehidupan masyarakat Indonesia, antara lain terbukanya ‘Kran’
Kebebasan Berserikat, Kebesan Menyampaikan Pendapat baik Lisan mupun Tertulis,
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, termasuk adanya pengalihan Wewenang
dan Kekuasaan Pemerintahan dari Pusat ke Daerah, yang kemudian disebut dengan
Otonomi Daerah. Sementara pemberantasan terhadap praktik Korupsi, di era
Repormasi khususnya sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, praktek Korupsi yang
pada era Orde Baru berkuasa terpusat di pusat kekuasaan, di Jakarta, di era
repormasi justru ‘Menggurita’ ke seluruh daerah. Bahkan sebagaimana pernah
disampaikan dalam beberapa kesempatan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi,
tidak sedikit Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang saat ini diproses secara hukum karena diduga terkait
Korupsi.
Kita patut
bersyukur, dengan hadirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
pemberantasan terhadap praktik Korupsi sudah menunjukkan kemajuan yang
signifikan. Dengan keterbatsannya di sana-sini, termasuk adanya upaya semacam
rekayasa yang disebut-sebut ‘Pelemahan’, lembaga anti rusuah yang kini dipimpin
oleh Abraham Samad tersebut, dibandingkan dengan lembaga penegak hukum yang
lain prestasinya sangat membanggakan. Tidak sedikit oknum-oknum pejabat, mulai
dari kalangan anggota legislatif maupun
mantan, baik DPR RI maupun DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, Kepala Daerah dan
Wakil Kelapa Daerah maupun mantan, baik tingkat Provinsi, maupun Kabupaten
maupun Kota, Menteri atau pejabat Negara setingkat Menteri, oknum-oknum
tertentu dari kalangan penegak hukum baik itu dari Kejaksaan, Kehakiman maupun
Kepolisian, termasuk para Pengusaha yang mempunyai kedekatan dengan Penguasa
kemudian terlibat dan atau dilibatkan melakukan praktik Korupsi, bahkan
terakhir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang mantan, Akil Muchtar, sudah
dijebloskan oleh KPK ke balik terali besi Penjara.
Hanya
sayangnya, pratik Kolusi dan Nepotisme yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari praktik Korupsi, semakin hari justru semakin tumbuh subur bak jamur
dimusim hujan baik di level pusat maupun daerah. Contoh teranyar, adalah
terungkapnya praktik Nepotisme kekuasaan yang kemudian disebut dengan ‘Dinasti’
Kekuasaan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, perempuan pertama yang menjadi
Gubernur di Indonesia. Ratu Atut sendiri, dengan ‘Bersenjatakan’ pengaruh
ayahandanya, Haji Tubagus Chasan Sochib yang pada dekade kejayaannya menjadi
Pemimpin Persaudaraan Jawara (Jagoan) Banten, berhasil menjadi Wakil Gubernur
Banten Masa Bakti 2002 – 2007, bersama Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten
pertama, hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat. Di tengah perjalanan, ketika
tahun 2005 Joko Munandar diberhentikan karena terlibat kasus korupsi, Ratu
Atu-pun menjabat sebagai Pelaksana tugas Gubernur Banten 2007. Untuk jabatan
pertamanya sebagai Gubernur Banten terpilih Masa Bakti 2007 - 20112, Ratu Atut
Chosiyah dilantik pada 11 januari 2007 bersama pasangannya, Muhammad Ma’ruf
sebagai Wakil Gubernur. Sedangkan pada
Pemilukada 2012, Ratu Atut kembali terpilih menjadi Gubernur Banten bersama
pasangannya aktor Rano Karno. Dengan demikian, hingga saat ini setidaknya Ratu
Atut Chosiyah sudah sekitar 11 tahun menjadi Penguasa di Provinsi Banten. Tiga
tahun menjadi Wakil Gubernur, 2 tahun menjadi Pelaksana Tugas Gubernur, 5 tahun
menjadi Gubernur Banten Masa Bakti 2007 – 2012, kemudian 1 tahun pertama pada
jabatan Gubernur Banten Masa Bakti 2012 – 2017.
Selama sekitar
11 tahun berkuasa, ratu Atut tentunya bisa begitu leluasa membangun ‘Dinasti’
kekuasaan. Keluarga Atut yang ditelisik berhasil diantarkan menjadi pejabat di
Provinsi Banten, antara lain; anak Atut, Andika Hazrumy, selain masih menjadi
anggota DPD, dalam Pemlilu 2014 kembali mencalon sebagai Caleg dari Dapil
Pandegelang – Lebak. Menantu Atut, istri Andika, Ade Rosi Khaerunissa, Wakil
Ketua DPRD Kabupaten Serang, dan pada Pemilu pada Pemilu 2014 mencalon sebagai
Caleg DPRD Provinsi Banten dari Prtai Golkar. Kemudian kakak kandung Ratu
Atut, Ratu Tatu Chasanah, Wakil Bupati
Serang. Dan yang saat ini demikian terkenal, terutama sejak suaminya Tubagus Chaeri Wardhana alias wawan,
ditangkap KPK karena diduga terlibat kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar,
Airin Rachmi Diany, adalah Walikota Tangerang Selatan. Menurut Majalah Forum Keadilan, kekayaan Gubernur
Banten, Ratu Atut Chosiyah yang ‘Dinasti’ kekuasaannya sudah begitu
‘Menggurita’ di Provinsi Banten, diperkirakan mencapai Rp. 41,9 miliar lebih,
meningkat jika dibandingkan laporan kekayaannya pada 1 Oktober 2002 yang hanya
sebesar Rp. 30,63 miliar. Sedangkan kekayaan Walikota Tanggerang Selatan, istri
Wawan yang tak lain adalh adik ipar Ratu Atut, jumlahnya mencapai Rp. 103
miliar. Lantas, apakah kekayaan Ratu Atut Chosiyah, Wawan dan Airin, termasuk
para ‘Dinasti’nya tersebut diperoleh dengan legal, atau justru sebaliknya,
tentu KPK-lah yang akan menelisiknya.
Sebagaimana diketahui, praktik korupsi tidak mungkin
bisa dilakukan oleh orang per-orang. Praktik korupsi, jelas harus dilakukan
secara ‘Berjamaah”. Pengertian ‘Berjamaah’ itu sendiri, adalah secara
bersama-sama dengan melibatkan banyak orang atau pihak. Dan ‘Dinasti’, adalah
sebutan sekumpulan orang yang tergabung dan atau digabung ke dalam suatu
‘Kelompok’ yang kemudian disebut sebagai ‘Dinasti’, baik itu ‘Dinasti’ Politik,
‘Dinasti’ Kekuasaan maupun ‘Dinasti’ Bisnis, baik itu dalam hubungan kekeluargaan
dekat maupun jauh, kerabat maupun kroni. Sementara yang dimaksud dengan Kolusi
(Persekongkolan) dan Nepotisme (Kekerabatan), makna lain dari yang disebut
dengan ‘Dinasti’ dan merupakan bagian tak terpisahkan dari praktik Korupsi
sebagaimana dimaksud oleh cita-cita luhur repormasi, hingga saat belum berhasil
‘Diberantas’. Dan untuk memberantas maraknya ‘Dinasti’, tentunya menjadi tugas
kita bersama Masyarakat dan Bangsa Indonesia, walaupun untuk memberantas
‘Dinasti’ terkadang kita harus mencemaskan adanya kemungkinan pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM), tentunya HAM mereka yang memiliki persamaan Hak dan tak
boleh dibatasi oleh siapapun dan untuk menjadi profesi apapun di Negeri
tercinta, Indonesia. Kenyataan tersebut, tentunya merupakan semacam pilihan
yang sangat sulit, karena akan menjadi Penomena antara ‘Dinasti’ dan
Pelangganan HAM.(***).