Penomena Antara ‘Dinasti’ dan Pelanggaran HAM - AGUNG POST NEWS

23 Oktober 2013

Penomena Antara ‘Dinasti’ dan Pelanggaran HAM

Cita-cita yang sangat mendasar diperjuangkannya kehadiran era Reformasi, melalui kekuatan gerakan ribuan Mahasiswa dan sejumlah Elemen Masyarakat dengan  menumbangkan kekuasaan rezim Soeharto pada 1998, selain menuntut kebebasan Demokrasi dalam arti hakiki, juga adanya tekad memberantas praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang ketika itu memang dinilai sudah sangat ‘Menggurita’ di Negeri tercinta, Indonesia. Setelah 15 tahun era Repormasi berjalan, memang secara jujur harus diakui, ada beberapa perubahan dalam  ber-Bangsa dan ber-Negara bagi kehidupan masyarakat Indonesia, antara lain terbukanya ‘Kran’ Kebebasan Berserikat, Kebesan Menyampaikan Pendapat baik Lisan mupun Tertulis, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat, termasuk adanya pengalihan Wewenang dan Kekuasaan Pemerintahan dari Pusat ke Daerah, yang kemudian disebut dengan Otonomi Daerah. Sementara pemberantasan terhadap praktik Korupsi, di era Repormasi khususnya sejak diberlakukannya Otonomi Daerah, praktek Korupsi yang pada era Orde Baru berkuasa terpusat di pusat kekuasaan, di Jakarta, di era repormasi justru ‘Menggurita’ ke seluruh daerah. Bahkan sebagaimana pernah disampaikan dalam beberapa kesempatan oleh Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, tidak sedikit Kepala Daerah dan Wakil Kepala  Daerah yang saat ini diproses secara hukum karena diduga terkait Korupsi.

Kita patut bersyukur, dengan hadirnya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pemberantasan terhadap praktik Korupsi sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dengan keterbatsannya di sana-sini, termasuk adanya upaya semacam rekayasa yang disebut-sebut ‘Pelemahan’, lembaga anti rusuah yang kini dipimpin oleh Abraham Samad tersebut, dibandingkan dengan lembaga penegak hukum yang lain prestasinya sangat membanggakan. Tidak sedikit oknum-oknum pejabat, mulai dari kalangan anggota legislatif  maupun mantan, baik DPR RI maupun DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, Kepala Daerah dan Wakil Kelapa Daerah maupun mantan, baik tingkat Provinsi, maupun Kabupaten maupun Kota, Menteri atau pejabat Negara setingkat Menteri, oknum-oknum tertentu dari kalangan penegak hukum baik itu dari Kejaksaan, Kehakiman maupun Kepolisian, termasuk para Pengusaha yang mempunyai kedekatan dengan Penguasa kemudian terlibat dan atau dilibatkan melakukan praktik Korupsi, bahkan terakhir Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang mantan, Akil Muchtar, sudah dijebloskan oleh KPK ke balik terali besi Penjara.

Hanya sayangnya, pratik Kolusi dan Nepotisme yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari praktik Korupsi, semakin hari justru semakin tumbuh subur bak jamur dimusim hujan baik di level pusat maupun daerah. Contoh teranyar, adalah terungkapnya praktik Nepotisme kekuasaan yang kemudian disebut dengan ‘Dinasti’ Kekuasaan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah, perempuan pertama yang menjadi Gubernur di Indonesia. Ratu Atut sendiri, dengan ‘Bersenjatakan’ pengaruh ayahandanya, Haji Tubagus Chasan Sochib yang pada dekade kejayaannya menjadi Pemimpin Persaudaraan Jawara (Jagoan) Banten, berhasil menjadi Wakil Gubernur Banten Masa Bakti 2002 – 2007, bersama Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten pertama, hasil pemekaran dari Provinsi Jawa Barat. Di tengah perjalanan, ketika tahun 2005 Joko Munandar diberhentikan karena terlibat kasus korupsi, Ratu Atu-pun menjabat sebagai Pelaksana tugas Gubernur Banten 2007. Untuk jabatan pertamanya sebagai Gubernur Banten terpilih Masa Bakti 2007 - 20112, Ratu Atut Chosiyah dilantik pada 11 januari 2007 bersama pasangannya, Muhammad Ma’ruf sebagai Wakil Gubernur.  Sedangkan pada Pemilukada 2012, Ratu Atut kembali terpilih menjadi Gubernur Banten bersama pasangannya aktor Rano Karno. Dengan demikian, hingga saat ini setidaknya Ratu Atut Chosiyah sudah sekitar 11 tahun menjadi Penguasa di Provinsi Banten. Tiga tahun menjadi Wakil Gubernur, 2 tahun menjadi Pelaksana Tugas Gubernur, 5 tahun menjadi Gubernur Banten Masa Bakti 2007 – 2012, kemudian 1 tahun pertama pada jabatan Gubernur Banten Masa Bakti 2012 – 2017.

Selama sekitar 11 tahun berkuasa, ratu Atut tentunya bisa begitu leluasa membangun ‘Dinasti’ kekuasaan. Keluarga Atut yang ditelisik berhasil diantarkan menjadi pejabat di Provinsi Banten, antara lain; anak Atut, Andika Hazrumy, selain masih menjadi anggota DPD, dalam Pemlilu 2014 kembali mencalon sebagai Caleg dari Dapil Pandegelang – Lebak. Menantu Atut, istri Andika, Ade Rosi Khaerunissa, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Serang, dan pada Pemilu pada Pemilu 2014 mencalon sebagai Caleg DPRD Provinsi Banten dari Prtai Golkar. Kemudian kakak kandung Ratu Atut,  Ratu Tatu Chasanah, Wakil Bupati Serang. Dan yang saat ini demikian terkenal, terutama sejak suaminya  Tubagus Chaeri Wardhana alias wawan, ditangkap KPK karena diduga terlibat kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Airin Rachmi Diany, adalah Walikota Tangerang Selatan. Menurut Majalah Forum Keadilan, kekayaan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang ‘Dinasti’ kekuasaannya sudah begitu ‘Menggurita’ di Provinsi Banten, diperkirakan mencapai Rp. 41,9 miliar lebih, meningkat jika dibandingkan laporan kekayaannya pada 1 Oktober 2002 yang hanya sebesar Rp. 30,63 miliar. Sedangkan kekayaan Walikota Tanggerang Selatan, istri Wawan yang tak lain adalh adik ipar Ratu Atut, jumlahnya mencapai Rp. 103 miliar. Lantas, apakah kekayaan Ratu Atut Chosiyah, Wawan dan Airin, termasuk para ‘Dinasti’nya tersebut diperoleh dengan legal, atau justru sebaliknya, tentu KPK-lah yang akan menelisiknya.

Sebagaimana diketahui, praktik korupsi tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang per-orang. Praktik korupsi, jelas harus dilakukan secara ‘Berjamaah”. Pengertian ‘Berjamaah’ itu sendiri, adalah secara bersama-sama dengan melibatkan banyak orang atau pihak. Dan ‘Dinasti’, adalah sebutan sekumpulan orang yang tergabung dan atau digabung ke dalam suatu ‘Kelompok’ yang kemudian disebut sebagai ‘Dinasti’, baik itu ‘Dinasti’ Politik, ‘Dinasti’ Kekuasaan maupun ‘Dinasti’ Bisnis, baik itu dalam hubungan kekeluargaan dekat maupun jauh, kerabat maupun kroni. Sementara yang dimaksud dengan Kolusi (Persekongkolan) dan Nepotisme (Kekerabatan), makna lain dari yang disebut dengan ‘Dinasti’ dan merupakan bagian tak terpisahkan dari praktik Korupsi sebagaimana dimaksud oleh cita-cita luhur repormasi, hingga saat belum berhasil ‘Diberantas’. Dan untuk memberantas maraknya ‘Dinasti’, tentunya menjadi tugas kita bersama Masyarakat dan Bangsa Indonesia, walaupun untuk memberantas ‘Dinasti’ terkadang kita harus mencemaskan adanya kemungkinan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tentunya HAM mereka yang memiliki persamaan Hak dan tak boleh dibatasi oleh siapapun dan untuk menjadi profesi apapun di Negeri tercinta, Indonesia. Kenyataan tersebut, tentunya merupakan semacam pilihan yang sangat sulit, karena akan menjadi Penomena antara ‘Dinasti’ dan Pelangganan HAM.(***).

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda