=foto ilustrasi hmsb=
PARA jurnalis
Muslim yang bekerja di media-media Islam telah bekerja sesuai kode etik
jurnalis Muslim padaawal 1978, Koran Kompas pernah dibredel oleh pemerintah
Soeharto selama 3 pekan. Setelah itu, harian yang dikomandoi oleh Jakob Oetama
ini tampil lebih lembut. Mereka melunak. Padahal, ketika itu, kebanyakan surat
kabar menganut jurnalisme keras dan sarat dengan kritik terhadap pemerintah. Perubahan
sikap ini kemudian diistilahkan oleh Rosihan Anwar sebagai jurnalisme kepiting.
Artinya, mereka bersikap tak ubahnya seperti kepiting. Ketika ada hambatan di
depan, mereka mundur, atau berjalan menyamping, lalu mencari jalan lain yang
lebih aman. Ya, jalan aman. Jika dulu
ada istilah jurnalisme kepiting, rasanya cocok bila kita menyebut sikap yang
bertolak belakang dengan itu sebagai jurnalisme banteng. Kita tahu, banteng
selalu menyeruduk setiap hambatan yang ada di depannya. Tak peduli seberat apa
pun halangan itu, ia hantam. Harus kita akui, saat ini media dengan gaya
banteng seperti itu ada, bahkan jumlahnya tak sedikit. Mereka mengkritik dengan
sangat kasar, mencampur adukkan fakta dan opini untuk “menghantam” apa yang
mereka tak suka, bahkan tak peduli apakah informasi yang mereka sampaikan
bohong atau bukan.Media Islam seharusnya tak melakukan kedua “budaya” itu.
Media Islam tak akan bersikap seperti kepiting: berhenti atau berbelok mencari
jalan lain manakala menemukan hambatan, atau bersikap seperti banteng:
menyeruduk tanpa etika. Media Islam akan terus berjalan penuh kehati-hatian
manakala ada hambatan yang menghadang di hadapannya. Media Islam harus terus
melangkah sebagaimana nasehat Ubay bin Ka’ab kepada sahabatnya Umar bin
Khaththab.Diceritakan bahwa Umar suatu hari bertanya kepada Ubay tentang takwa.
Lalu Ubay balik bertanya pada Umar, “Bukankah Anda pernah melewati jalan penuh
duri? Apa yang Anda lakukan saat itu?”. Umat tidak menjawabnya dengan berhenti.
Umar justru menjawabnya, “Saya (terus) berjalan (namun) berhati-hati.”Begitulah
seharusnya media Islam: tetap melangkah dengan penuh kehati-hatian. Media Islam
tak boleh berhenti mewarta sebagaimana para dai tak boleh berhenti
berdakwah. Media Islam tak boleh berhenti mengkhabarkan konsep jihad dan
khilafah secara benar kepada masyarakat meski saat ini kedua istilah itu tengah
dihujam fitnah luar biasa akibat ulah sekelompok ekstrim. Media Islam harus
terus menceritakan kondisi para pengungsi Suriah yang begitu memprihatinkan
agar kaum Muslim di seluruh dunia mau menyisihkan hartanya untuk membantu
mereka meski aliran dana ke negeri konflik saat ini tengah mendapat sorotan
tajam. Hanya saja, sekali lagi, media Islam harus berhati-hati melangkah.
Pastikan bahwa para jurnalis Muslim yang bekerja di media-media Islam telah
bekerja sesuai kode etik jurnalis Muslim, sebagaimana banyak dijelaskan dalam
al-Qur’an dan Hadits. Misalnya, para jurnalis Muslim harus bekerja secara
profesional sebagaimana kaidah profesi dalam kejurnalistikan selagi hal
tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam kaidah fiqih
disebutkan, al-muslimuna ‘ala syuruthihim (kaum muslimin itu wajib memenuhi
syarat-syarat yang ada di antara mereka). Itu berarti, jurnalistik sebagai
cabang ilmu yang memiliki aturan (syarat-syarat) yang telah disepakati bersama
harus dipatuhi oleh para jurnalis Muslim sepanjang hal tersebut tidak
menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain itu, para jurnalis Muslim pantang
mempublikasikan berita-berita bohong sebagai mana Islam juga mencela perbuatan
tersebut. Para jurnalis Muslim harus mematuhi kaidah tabayyun (klarifikasi) dalam menyusun berita.
Para jurnalis Muslim pantang menerima sogokan dan pantang pula menyajikan
berita yang mengandung unsur fakhisya (menggambarkan kekerasan dan seksual
secara fulgar). Media Islam harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat, disertai pemberitahuan atau permintaan
maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut. Dan,
jurnalis Muslim harus mencantumkan sumber data/informasi yang dikutip olehnya
dari media publikasi yang lain. Semua etika tersebut ada dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Jika etika-etika tersebut telah dipatuhi oleh para pewarta Muslim
namun tetap saja makar itu tak bisa dibendung, maka yakinlah bahwa makar Allah
Subhanahu Wata’ala jauh lebih hebat dari makar siapa pun di bumi ini. (net/
ang/ ”ap-news”).
Selamat
bekerja, jurnalis Muslim. Jangan pernah berhenti berdakwah![]
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar