MIDANG merupakan
salah satu tradisi turun temurun yang dimiliki oleh masyarakat Kota Kayuagung,
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sejak abad ke-17 silam. Hingga kini budaya midang
tersebut masih terus dilaksanakan terutama di saat memeriahkan hari raya idul
fitri. Biasanya Midang digelar pada hari ketiga dan keempat idul fitri.
Disaksikan seluruh masyarakat Kota Kayuagung bahkan para pejabat tinggi daerah,
Midang menjadi khazanah budaya yang bernilai tontonan, tuntunan dan sejarah. Lantas,
mengapa midang? Midang adalah pawai (karnaval) masyarakat Kayuagung berkeliling
kota dengan menampilkan berbagai atribut dan kelengkapan. Ada yang
berpasang-pasangan dengan menggunakan baju adat pengantin, ada pula yang
berpakaian dengan tradisi pencak silat dan sebagainya. Biasanya, pawai atau
midang ini selalu diiringi riuhnya musik seperti musik tradisional juga –
tanjidor untuk menandai bahwa midang telah berjalan. Masing-masing ‘kontingen’
midang berasal dari berbagai kelurahan, desa dan bahkan dari masing-masing lingkungan
yang ada di Kota Kayuagung. Dahulu kala, midang diikuti oleh masyarakat asli
Kayuagung dengan julukan morgesiwe (sembilan marga). Sekarang, seiring kemajuan
zaman, midang tak hanya diikuti oleh warga asli semata namun masyarakat
datangan pun ikut serta memeriahkan midang tersebut. Konon, midang sendiri
merupakan catatan kenangan atas perkawinan sepasang manusia berbeda status yang
diwarnai dengan perbedaan status. Sang gadis berasal dari keluarga yang
terpandang, sedangkan bujang atau laki-laki berasal dari keluarga miskin yang
berkepribadian luhur. Lantaran berbeda status, pihak keluarga sang gadis
meminta sejumlah syarat di antaranya, kereta hias menyerupai naga dan
arak-arakan dari pihak pria. Persyaratan itu akhirnya dipenuhi keluarga pengantin
laki-laki. Sejak itulah, midang menjadi tradisi bagi masyarakat “Bumi Bende
Seguguk”. Ada dua bentuk Midang, yaitu Midang Begorok dan Midang Bebuke. Midang
Begorok diadakan sebagai bagian dari suatu acara yang diadakan secara
besar-besaran. Seperti pernikahan, sunatan dan acara lainnya. Sedangkan Midang
Bebuke diadakan untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri. Arak-arakan pengantin
remaja ini diadakan pada hari ketiga dan keempat setelah Idul Fitri. Midang Bebuke
memiliki nama lain Midang Morge Siwe (Sembilan Marga). Ini, dahulu kala, semua
marga yang ada di wilayah Keresidenan Kayuagung turut serta meramaikan acara
ini. Acara ini menjadi hiburan warga serta menjadi daya tarik wisatawan ke
Kayuagung berkat keramaian dan kentalnya budaya yang ditampilkan. Para
pengantin muda diarak berjalan mengelilingi kota Kayuagung. Arak- arakan midang juga melintasi
rumah dinas Bupati OKI. Di sini, arak-arakan disambut Bupati OKI, H Iskandar
SE, didampingi istri, Ny. Linda Iskandar. Namun untuk idul fitri tahun ini,
1438 H, suasana midang berbeda, karena dihadiri pula Wakil Gubernur (Wagub)
Sumsel, H. Ishak Mekki dan istri, Ny. Hj.Tartila Ishak. Di sela-sela acara,
kepada awak media, Wagub Ishak Mekki mengatakan, tradisi midang ini harus tetap
terus dilestarikan karena budaya ini merupakan peninggalan nenek moyang
terdahulu yang bernilai sejarah di. “Sebagai penerus, kita wajib untuk menjaga
dan melestarikan budaya lokal ini, jangan sampai hilang,” kata Ishak yang juga
mantan Bupati OKI dua periode ini serius. Menurut catatan, tradisi midang ini
tak hanya dikenal bagi masyarakat setempat, namun telah menyebar dan dikenal
oleh masyarakat Sumsel secara umum dan bahkan telah tercatat sebagai salah satu
agenda wisata nasional. (her-‘ap-news”).