SEBANYAK 7000 kasus perceraian tercatat akhir tahun 2019 di Pengadilan Agama Banyuwangi. Tingginya angka perceraian dalam kurun waktu setahun ini, berbanding lurus dengan jumlah populasi janda baru.
Jika diambil rata-rata, di Banyuwangi terdapat kurang lebih sebanyak 583 janda per bulannya.
"Di Desember ini sudah mencapai 7.000 angka," kata Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi, Dr Akhmad Bisri Mustaqim kepada wartawan, Jumat (13-12).
Angka tersebut menurutnya telah mengalami penurunan jumlah yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 8.000 angka perceraian.
"Artinya sudah ada pengurangan sedikit demi sedikit. Kebanyakan perceraian didominasi oleh gugatan dari pihak wanita," katanya.
Adapun penyebab banyaknya kaum wanita melayangkan gugatan, di antaranya karena mengalami faktor kekerasan didalam rumah tangga. Faktor lain seperti kurangnya nafkah yang diberikan oleh suami juga menjadi salah satu alasan para wanita ini. Tak hanya itu, faktor nikah siri diluar sepengetahuan pasangan, atau poligami dan poliandri juga menjadi alasan retaknya rumah tangga mereka.
"Paling banyak ialah tidak adanya komunikasi yang harmonis dalam pasangan. Sehingga menyebabkan perilaku yang menyimpang seperti terjadinya perselingkuhan," ujarnya.
"Karena faktor krisis akhlak moral, sehingga menyebabkan salah satu pasangan melakukan penyimpangan seksual," tambahnya.
Angka perceraian di Banyuwangi saat ini terbilang sangat tinggi di Jawa Timur. Dengan angka 7.000 kasus perceraian ini, menghantarkan Banyuwangi masuk dalam 5 Kabupaten di Jawa Timur dengan angka cerai yang tertinggi. "Kalau nggak urutan 3, ya 4," pungkasnya.(dco/"ap-news")