TENTU publik di Indonesia sudah sangat akrab dengan yang namanya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan. Asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia ini, yang dikelola oleh sebuah badan tersebut, banyak jadi tumpuan bagi publik dalam layanan kesehatan. Pemerintah juga dengan percaya diri berkata bahwa ini adalah bentuk pemberian jaminan pengobatan pada warga.
Sebagai asurasi kesehatan, sebenarnya konsep ini sudah lama dikenal, khususnya pegawai negeri sipil (PNS). Dulu disebut dengan istilah Askes (asurasi kesehatan), dengan ciri khas kartu berwarna kuning. Setiap PNS diwajibkan ikut asuransi ini, pembayaran dengan potong gaji tiap bulan. Layanannya disesuaikan dengan golongan PNS tersebut.
Belakangan dengan keluarnya kebijakan BPJS, model Askes PNS dilebur ke BPJS, maka jadilah PNS pun disebut sebagai nasabah BPJS. Caranya tetap seperti lama, hanya namanya diganti. Tetapi ada satu perbedaan khas lagi, jika dulu hanya khusus PNS, sekarang berbaur pada satu kantor layanan. Apapun itu, hakekatnya sama, layanan asuransi kesehatan bagi warga negara dengan membayar setiap bulan.
Sebenarnya, yang namanya bisnis asuransi, kekuatan utama ada dari banyak atau tidaknya nasabah. Perusahaan asuransi hidupnya dari situ. Tetapi khusus BPJS, modelnya bukanlah murni bisnis. Pemerintah menerapkan sistem subsidi, sehingga tarif iuran dianggap lebih murah dan terjangkau. Istilahnya, ini adalah layanan asurasi yang lebih banyak sosialnya, katanya seperti itu.
Namun demikian, yang jelas posisinya sama, bahkan bisa dikatakan lebih sensitif, karena BPJS berhubungan dengan publik yang sakit, dalam arti sebenarnya. Mereka yang menggunakan BPJS pastilah sedang sakit, baik katagori parah atau tidak. Sensitifitas orang sakit tentu berbeda dengan mereka yang sehat.
Lantas apakah dengan demikian BPJS memang mengasyikkan? Belum tentu. Bagi yang masuk katagori gawat darurat memang terasa membantu sekali, prosesnya cepat dan tidak bertele-tele. Sampai di sini, acungan jempol pantas diberikan. Setidaknya saya sudah mengalami beberapa kali layanan baik dan menguntungkan dari BPJS. Tetapi jika yang sifatnya tidak gawat-gawat amat, perbanyaklah bersabar.
Keluhan-keluhan dalam layanan BPJS ternyata tidak hanya saat di rumah sakit saja. Pengalaman saya setidaknya mengalami beberapa hal. Pertama, saat pendaftaran sebagai peserta. Di sini bisa dibagi dua, peserta baru atau untuk menambah peserta. Untuk bisa melakukan hal ini, masyarakat diwajibkan datang langsung ke kantor BPJS terdekat. Tidak bisa secara online atau metode lain. Di sini sudah terasa kesulitan besar, yaitu waktu dan kepastian berapa lama proses dilakukan. Waktu yang diperlukan, mulai dari mengambil nomor antrian sampai dilayani, setidaknya dibutuhkan waktu 2 – 5 jam. Pengalaman ini saya rasakan langsung di Kantor BPJS Palembang. Datang pukul 11 siang, dapat antrian 322, sementara yang berjalan baru 70. Petugas berkata kemungkinan sekitar pukul 14.00, ternyata sampai pukul 15.30, baru sampai antrian 290.
Untuk hal ini, kenapa BPJS tidak berbuat inovasi seperti Samsat misalnya, yang membuat kantor layanan keliling serta membuat perwakilan di beberapa mall, semacam BPJS Corner. Ini dengan alasan bahwa jumlah warga yang dilayani oleh lembaga ini sangat banyak. Bisa pula dengan mengefektifkan layanan online yang bisa diakses warga secara cepat dan mudah.
Kedua, layanan saat di rumah sakit setelah melalui fasilitas kesehatan tingkat I. Sebenarnya proses tidaklah terlalu rumit, hanya saja masalah terjadi ketika yang akan dilayani jumlahnya demikian banyak, sehingga antrian pasti terjadi. Di sinilah perlunya manajemen waktu yang baik dan penataan kesiapan pihak rumah sakit dalam menerima masyarakat dalam jumlah banyak. Logikanya sederhana, jika peminat banyak, seharusnya yang melayani juga diperbanyak. Logika ini disambung dengan logika lain bahwa orang sakit membutuhkan layanan cepat, terlepas dari kondisi darurat atau tidak.
Lamanya waktu antrian memang jadi masalah besar (atau tidak dianggap besar). Sudah sangat sering terjadi, proses layanan kesehatan kadang membutuhkan waktu sampai setengah hari atau malah seharian. Publik yang sakit, harus antri menunggu sekian lama. Tak heran jika kadang ada seloroh, berobat dengan BPJS, satu penyakit sembuh, tapi muncul pula penyakit baru.
Ketiga, untuk layanan tertentu seperti perubahan faskes I, BPJS sudah menerapkan sistem JKN Online, dimana dengan aplikasi android, publik bisa langsung merubah faskes atau turun kelas tanpa harus repot-repot ke kantor BPJS. Di satu sisi ini bagus dan menguntungkan. Tetapi, masalah muncul lagi, masalah yang sifatnya teknis, tetapi sangat mengganggu, yaitu aplikasi yang ada sangat sering meminta dilakukan update. Jika tidak melakukan update, layanan terhenti. Menganggukah? Pasti, karena tidak setiap hari orang membuka aplikasi JKN Online, hanya saat akan digunakan saja. Masih mending jika saat itu, aplikasi kita masih menyisakan kuota cukup, jika tidak, nambah kuota harus dilakukan dan itu butuh waktu serta uang. Sesuatu yang tidak baik dalam konteks penggunaan IT.
Selain tiga masalah di atas, mungkin ada lagi daftar keluhan publik yang muncul seperti jenis penyakit yang dilayani, klaim yang tidak sepenuhnya, ataupun proses birokrasi yang panjang sejak dari faskes tingkat I. Inti dari semua itu adalah kualitas pelayanan yang tidak menyenangkan.
Dalam konteks birokrasi modern, keresahan-keresahan publik sebenarnya adalah hal yang harus dihindari dan tak boleh ada. Tetapi faktanya ini terus terjadi, rutinitas, sebagaimana dikatakan petugas bahwa kalau hari Senin atau Selasa memang demikian, ramai. Di sinilah kritik perlu dimunculkan, karena keluhan tidak boleh dijadikan rutinitas. Sensitifitas publik akan berhubungan dengan berbagai isu miring yang menerpa lembaga BPJS. Alhasil, tak salah jika dikatakan bahwa BPJS memang rumit, bahkan sejak pendaftaran, sehingga menjadi tak perlu dimasalahkan jika BPJS seringkali di bully oleh publik. Setidaknya komunikasi layanan publik tak berjalan baik, seakan nyaman dengan berbagai kritikan. Entah suatu saat BPJS akan berbenah, mungkin saja.
Penulis: Dr. Yenrizal, M.Si, Dosen FISIP UIN Raden Fatah.